Sabtu, 09 Januari 2010

KOPERASI SIMPAN PINJAM DAN ARAH KEBIJAKANNYA

1. Selayang Pandang Sejarah Koperasi Simpan Pinjam di Indonesia
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam, selanjutnya tumbuh koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja Patih di Purwokerto (1896) dengan mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam. Untuk memodali koperasi simpan-pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya. Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Van Westerrode mempelajari cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Kemudian Van Westerrode mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja. Dalam hubungan ini kegiatan simpan-pinjam yang dapat berkembang menjadi model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan sosial dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi.
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad ke-19 dalam suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis didalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam konstitusi, maka sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik dengan adanya Pasal 33 UUD 1945.

2. Indikator Perkembangan Koperasi simpan Pinjam
Indikator perkembangan koperasi simpan pinjam (KSP) pada dasarnya dapat dilihat dari beberapa variabel seperti, efektivitas etika, jumlah lembaga, jumlah anggota, volume Usaha, dan modal. Atas dasar keempat indikator tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa koperasi simpan pinjam telah berkembang sesuai dengan kebutuhan anggota akan jasa keuangan (simpan-pinjam).
Gambaran trend menaik mengenai perkembangan KSP dapat dilihat sejak satu tahun sebelum resesi (1996) sampai dengan setelah resesi berjalan empat tahun (2002). Jumlah KSP tumbuh rata-rata sekitar 3.38 % per tahun, yang diikuti dengan pertumbuhan modal yang cukup tinggi, yaitu 33,69 %. Namun demikian, jumlah anggota KSP turun rata-rata -1,79 % per tahun dan volume usaha (pinjaman) juga menurun rata-rata sekitar 3,85 % pertahun.
Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa terdapat indikasi jumlah anggota KSP yang meminjam menurun akibat dari kondisi ekonomi yang ada belum kondusif bagi pengembangan usaha. Pada kondisi perputaran modal yang tidak sampai satu kali pada tahun 2002 memberikan gambaran bahwa secara umum terdapat modal koperasi yang menganggur.
Berbeda dengan KSP, gambaran mengenai unit simpan pinjam koperasi perkotaan (USP-KOPTA) memperlihatkan pertumbuhan yang cukup nyata, dengan rata-rata pertumbuhan modal 12,63% dan volume usaha 8,09% terutama pada koperasi fungsional dan karyawan. Usaha simpan pinjam pada koperasi perkotaan pada umumnya melayani anggota dengan keperluan konsumtif, baik keperluan bahan pangan maupun untuk kebutuhan sekolah dan perbaikan rumah.
Namun demikian, pada tahun 2002 di USP-KOPTA terdapat modal yang belum dimanfaatkan dengan baik. Padahal apabila diamati pada masing-masing koperasi dikatakan masih banyak yang mampu memutar modalnya secara optimal bahkan banyak USP KOPTA yang masih kekurangan modal bagi pengembangan usaha simpan pinjamnya.
Sejalan dengan adanya perubahan aturan khususnya pencabutan Inpres 4/84 tentang KUD oleh Inpres 18/98 maka berkurangnya KUD yang bertahan hidup, secara otomatis akan mengurangi jumlah unit usaha simpan pinjam secara keseluruhan. Dampaknya modal USP KUD secara keseluruhan atau secara rata-rata juga menurun sebesar -1,42% pertahun.

3. Arah Kebijakan Pembangunan Koperasi Simpan Pinjam
Keikutsertaan pemerintah dalam pembinaan koperasi dapat berlangsung secara efektif selama era pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJP I). Dukungan pemerintah terhadap pembangunan koperasi di Indonesia telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup memuaskan. Walau demikian, pembangunan koperasi selama PJP I masih jauh dari sempurna.
Berbagai kelemahan mendasar masih tetap mewarnai wajah koperasi Indonesia. Kelemahan mendasar itu dapat berupa kelemahan terhadap pegangan etika, kelemahan manajerial, kelemahan sumberdaya, dan kelemahan pemasaran. Selain itu, iklim usaha yang ada juga terasa masih kuran kondusif bagi koperasi. Akibatnya perkembangan koperasi menjadi terasa lamban.
Bertolak dari pengalaman pembangunan koperasi dalam era PJP I itu, maka pelaksanaan pembangunan koperasi diharapkan dapat lebih ditingkatkan sehingga selain koperasi tumbuh menjadi bangun perusahaan yang sehat dan kuat, peranannya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dapat lebih ditingkatkan pula. Hal itu sejalan dengan salah satu sasaran pembangunan era PJP II, yakni pertumbuhan koperasi yang sehat dan kuat.
Adapun beberapa kebijakan pemerintah dalam pembangunan koperasi dalam Pelita IV seperti, Pertama, pembangunan menjadi wadah kegiatan ekonomi rakyat agar makin memiliki kemampuan menjadi badan usaha yang efisien dan menjadi gerakan ekonomi rakyat yang tangguh dan berakar pada masyarakat. Koperasi menjadi badan usaha yang makin mandiri dan andal wajib perlu memajukan kesehjateraan anggotanya.
Kedua, pelaksanaan fungsi dan peranan koperasi ditingkatkan melalui upaya peningkatan semangat kebersamaan dan manajemen yang profesional. Peran aktif masyarakat dalam menumbuh-kembangkan koperasi terus ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran, kegairahan, dan kemapuan berkoperasi melalui upaya pendidikan penanaman etika.
Ketiga, Peningkatan koperasi didukung melalui pemberian kesempatan berusaha seluas-luasnya disegala sektor kegiatan ekonomi. Keempat, Kerjasama antar-koperasi dan antara koperasi dengan usaha negara dan usaha swasta dikembangkan secara lebih nyata dengan dijiwai asas kekeluargaan, serta saling mendukung dan saling menguntungkan.

0 komentar:

Posting Komentar